CILACAP,iNewscilacap.id - Indonesia terus membuktikan keseriusannya dalam memperbaiki dan memodernisasi tata kelola ibadah haji. Salah satu gebrakan yang menonjol adalah peluncuran Manifesto Suci Haji 2025, sebuah langkah transformasi pelayanan yang diapresiasi tinggi oleh Rektor IAIN Ponorogo, Prof. Dr. Hj. Evi Muafiah, M.Ag.
Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia dan pengirim jemaah haji terbanyak tiap tahunnya, Indonesia memikul tanggung jawab besar dalam menjamin kualitas ibadah haji warganya. Pada musim haji 1446 H/2025 M ini, kuota haji reguler Indonesia mencapai 221.000 jemaah, dengan kloter pertama diberangkatkan pada 2 Mei 2025 dari Embarkasi Haji Jakarta.
Namun, jumlah besar bukan satu-satunya tantangan. Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag) juga harus memastikan kualitas pelayanan tetap prima di tengah transisi kelembagaan ke Badan Haji yang mulai mengambil alih operasional penuh pada 2026.
Apresiasi Rektor: Manifesto Suci adalah Komitmen Moral, Bukan Sekadar Administrasi
Melihat upaya ini, Rektor IAIN Ponorogo menyampaikan apresiasi terhadap Menteri Agama Prof. KH. Nasaruddin Umar atas peluncuran Manifesto Suci Haji 2025. Baginya, manifesto ini bukan hanya dokumen teknis, melainkan pernyataan sikap bahwa penyelenggaraan ibadah haji harus mencerminkan nilai kesucian, amanah, dan akuntabilitas.
“Manifesto Suci ini langkah revolusioner. Ia menegaskan bahwa pelayanan haji adalah urusan moral, bukan hanya birokrasi,” ujar Prof. Evi.
Diluncurkan dalam BPKH Annual Meeting and Banking Award 2024, manifesto ini menegaskan pentingnya integritas dan pembersihan layanan haji dari praktik penyimpangan dan korupsi. Menag menyatakan tegas bahwa pengelolaan ibadah suci ini harus benar-benar “bersih dan suci.”
Biaya Haji Lebih Terjangkau, Transparansi Jadi Sorotan
Salah satu poin penting dalam manifesto adalah transparansi biaya haji. Pemerintah berhasil menekan biaya yang harus dibayar langsung oleh jemaah menjadi sekitar Rp55 juta, sementara biaya sebenarnya mencapai lebih dari Rp90 juta.
Kesenjangan ini ditutup dengan pemanfaatan nilai manfaat dana haji oleh BPKH (Badan Pengelola Keuangan Haji) secara terbuka dan bertanggung jawab. Langkah ini memperlihatkan keberpihakan negara terhadap umat, bukan sekadar efisiensi anggaran.
Editor : Arbi Anugrah
Artikel Terkait