JAKARTA, iNewsCilacap.id - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus memperkuat pengawasan terhadap Lembaga Jasa Keuangan (LJK), termasuk sektor fintech peer-to-peer (P2P) lending atau pinjaman daring (Pindar). Langkah ini bertujuan menjaga integritas industri, melindungi konsumen, serta memastikan ekosistem keuangan yang sehat.
Sepanjang 2024, OJK telah menjatuhkan 661 sanksi kepada penyelenggara Pindar dan mencabut izin usaha empat perusahaan, dua di antaranya karena sanksi administratif, sementara dua lainnya atas permohonan pengembalian izin.
Plt Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan, dan Komunikasi OJK, M. Ismail Riyadi, menegaskan bahwa kebijakan ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Sebagai bagian dari langkah strategis, OJK juga meluncurkan Roadmap Pengembangan dan Penguatan Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) 2023-2028, yang menitikberatkan pada inklusi keuangan, perlindungan konsumen, dan kontribusi terhadap perekonomian nasional.
"OJK juga telah meluncurkan Roadmap Pengembangan dan Penguatan Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) 2023-2028. Roadmap ini menjadi komitmen OJK untuk menciptakan industri Pindar yang berorientasi pada inklusi keuangan, perlindungan konsumen, dan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional,"katanya.
Untuk memperkuat regulasi, OJK telah menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 40 Tahun 2024 yang memperbarui aturan sebelumnya. Regulasi ini mewajibkan penyelenggara menampilkan penilaian kredit, mengadakan Rapat Umum Pemberi Dana (lender), serta menginformasikan risiko pendanaan kepada pengguna.
Selain itu, OJK tengah menyusun Rancangan Surat Edaran (RSEOJK) guna meningkatkan pemahaman dan mitigasi risiko pendanaan. Langkah ini bertujuan memperkuat perlindungan terhadap lender agar lebih memahami risiko yang ada dalam investasi mereka.
OJK juga mengambil tindakan tegas dengan mencabut izin usaha dua perusahaan fintech P2P lending, yakni PT Tani Fund Madani Indonesia (TaniFund) dan PT Investree Radhika Jaya (Investree). Keduanya dinyatakan tidak memenuhi persyaratan ekuitas minimum serta gagal menjalankan rekomendasi pengawasan dari OJK.
1. TaniFund
Setelah dicabut izinnya, Tim Likuidasi TaniFund mengumumkan pembubaran perusahaan melalui surat kabar dan Berita Negara Republik Indonesia (BNRI) pada Agustus 2024. Hingga akhir tahun, OJK menerima tujuh laporan pengaduan terkait TaniFund. Masyarakat yang memiliki hak dan kewajiban dapat menghubungi Tim Likuidasi melalui situs resmi TaniFund. OJK juga telah melaporkan dugaan tindak pidana di perusahaan ini kepada aparat hukum.
2. Investree
OJK menerima 85 pengaduan terkait Investree sepanjang 2024. Pemegang saham telah menunjuk Tim Likuidasi untuk menyelesaikan hak dan kewajiban perusahaan. Selain itu, OJK melakukan Penilaian Kembali Pihak Utama (PKPU) terhadap Direktur Utama Investree, yang berpotensi menerima sanksi maksimal sesuai POJK Nomor 34/POJK.03/2018. Namun, PKPU ini tidak menghilangkan kemungkinan tanggung jawab pidana.
Dalam upaya menindaklanjuti kasus Investree, OJK bekerja sama dengan Kepolisian RI (Polri) untuk mengajukan red notice melalui Interpol serta mencabut paspor tersangka guna mempercepat proses hukum dan memberi kepastian bagi para investor.
Kasus eFishery Tidak Masuk dalam Pengawasan OJK
Di tengah isu industri keuangan, OJK menegaskan bahwa eFishery bukan bagian dari lembaga jasa keuangan dan tidak berada di bawah pengawasannya. Meski begitu, OJK tetap memantau penyelesaian permasalahan eFishery serta dampaknya terhadap sektor keuangan.
Dengan berbagai langkah ini, OJK menegaskan komitmennya dalam menjaga stabilitas industri fintech P2P lending, meningkatkan perlindungan bagi masyarakat, dan memastikan kepercayaan publik terhadap sektor jasa keuangan tetap terjaga.
Editor : Arbi Anugrah
Artikel Terkait