Kabupaten Kebumen Termiskin Tiga Tahun Berturut-turut, PERBUP Ubah Kriteria Miskin

KEBUMEN.iNewscilacap.id - Sebagai anak dari seorang ayah yang lahir dan besar di Kebumen, saya selalu merasa memiliki ikatan batin yang kuat dengan kabupaten kecil di pesisir selatan Jawa Tengah ini.
Setiap kali nama Kebumen disebut, ada desir haru yang sulit dijelaskan—percampuran nostalgia masa kecil, kebanggaan akan akar, dan keprihatinan yang menggantung di langit-langit hati.
Tanggal 4 April 2024 lalu, saya bersama keluarga melakukan perjalanan menuju Kebumen. Bukan sekadar liburan, ini adalah ziarah emosional ke akar kehidupan. Kami singgah ke Gua Jatijajar—ikon wisata yang masih menyimpan pesona alam yang menenangkan. Setelah salat Jumat, perjalanan kami lanjutkan ke Kecamatan Kuwarasan, tepatnya Desa Madureso—tanah kelahiran ayah saya.
Setiap jejak kaki di sana seperti membuka kembali lembaran lama yang hangat. Senyum-senyum ramah dari para tetangga yang mengenal ayah saya sejak kecil, suara canda tawa anak-anak desa, dan aroma sawah yang menguning menyambut kami dengan cara yang sederhana, namun dalam. Ada rasa pulang, meski saya tak pernah benar-benar tinggal di sana.
Namun, di balik kehangatan itu, terbit suara lirih dalam batin saya—rasa bangga sebagai "putra Kebumen" berdampingan dengan tanya-tanya yang mengusik.
Secara fisik, Kebumen tampak sedang berbenah. Trotoar diperluas, ruang publik dipercantik, geliat pembangunan mulai menjangkau pelosok kecamatan. Bahkan, ada optimisme bahwa Kebumen bisa masuk 10 besar kabupaten terkaya di Jawa Tengah pada 2025.
Namun, seperti dua sisi mata uang, semangat pembangunan itu beriringan dengan realitas yang getir.
Editor : Arbi Anugrah