Kabupaten Kebumen Termiskin Tiga Tahun Berturut-turut, PERBUP Ubah Kriteria Miskin

KEBUMEN.iNewscilacap.id - Sebagai anak dari seorang ayah yang lahir dan besar di Kebumen, saya selalu merasa memiliki ikatan batin yang kuat dengan kabupaten kecil di pesisir selatan Jawa Tengah ini.
Setiap kali nama Kebumen disebut, ada desir haru yang sulit dijelaskan—percampuran nostalgia masa kecil, kebanggaan akan akar, dan keprihatinan yang menggantung di langit-langit hati.
Tanggal 4 April 2024 lalu, saya bersama keluarga melakukan perjalanan menuju Kebumen. Bukan sekadar liburan, ini adalah ziarah emosional ke akar kehidupan. Kami singgah ke Gua Jatijajar—ikon wisata yang masih menyimpan pesona alam yang menenangkan. Setelah salat Jumat, perjalanan kami lanjutkan ke Kecamatan Kuwarasan, tepatnya Desa Madureso—tanah kelahiran ayah saya.
Setiap jejak kaki di sana seperti membuka kembali lembaran lama yang hangat. Senyum-senyum ramah dari para tetangga yang mengenal ayah saya sejak kecil, suara canda tawa anak-anak desa, dan aroma sawah yang menguning menyambut kami dengan cara yang sederhana, namun dalam. Ada rasa pulang, meski saya tak pernah benar-benar tinggal di sana.
Namun, di balik kehangatan itu, terbit suara lirih dalam batin saya—rasa bangga sebagai "putra Kebumen" berdampingan dengan tanya-tanya yang mengusik.
Secara fisik, Kebumen tampak sedang berbenah. Trotoar diperluas, ruang publik dipercantik, geliat pembangunan mulai menjangkau pelosok kecamatan. Bahkan, ada optimisme bahwa Kebumen bisa masuk 10 besar kabupaten terkaya di Jawa Tengah pada 2025.
Namun, seperti dua sisi mata uang, semangat pembangunan itu beriringan dengan realitas yang getir.
Selama tiga tahun terakhir, data Badan Pusat Statistik (BPS) menempatkan Kebumen sebagai kabupaten dengan angka kemiskinan tertinggi di Jawa Tengah. Tahun 2022 mencatat angka 16,41% atau sekitar 196 ribu jiwa. Turun tipis jadi 16,34% di 2023, dan menyentuh 15,71% pada 2024. Tapi jangan keliru: itu tetap berarti sekitar 188 ribu orang hidup di bawah garis kemiskinan.
Sementara itu, sosok yang kini memimpin Kebumen, Lilis Nuryani Fuad, adalah bupati terpilih dengan kekayaan fantastis: Rp138,2 miliar, tanpa utang, dan aset tersebar di 34 titik. Ia pun masuk dalam daftar kepala daerah terkaya di Jawa Tengah. Harapan masyarakat pun melonjak—bahwa kekuatan finansial pribadi bisa diterjemahkan menjadi kapasitas kepemimpinan yang berpihak dan tangkas.
Namun, langkah awal pemerintahan Ibu Lilis justru menimbulkan tanda tanya publik. Melalui Peraturan Bupati No. 22 Tahun 2025, ia menggagas penyusunan indikator kemiskinan versi daerah. Ia menganggap metode BPS terlalu teknokratis dan tidak merepresentasikan kondisi lapangan secara nyata.
Inisiatif ini bisa saja dibaca sebagai langkah inovatif. Tapi di sisi lain, muncul kekhawatiran: apakah ini hanya cara lain untuk mempercantik statistik?
Apakah redefinisi kemiskinan ini merupakan upaya tulus untuk menjangkau realita rakyat, atau sekadar strategi merias wajah angka—sementara dapur-dapur warga tetap kosong?
Sebagai mantan komisaris utama dan aktivis organisasi sosial-keagamaan, Lilis tentu memiliki pengalaman manajerial yang mumpuni. Tapi menjadi bupati bukan hanya soal kemampuan mengelola, melainkan juga komitmen untuk mendengar dan merasakan denyut rakyat kecil.
Saya hanya bisa berharap: semoga Ibu Lilis tak hanya mampu membangun jalan-jalan desa, tapi juga membuka jalan baru menuju kesejahteraan.
Bahwa perubahan bukan hanya tampak dari taman kota yang indah, tapi dari isi piring warga yang lebih bergizi. Bahwa kemajuan bukan hanya soal angka kemiskinan yang turun di grafik, tapi juga tentang harga sembako yang bisa dijangkau dan peluang kerja yang nyata.
Sebagai anak dari tanah ini, saya hanya ingin mengingatkan—dengan hati yang tak ingin menghakimi, tapi juga tak sanggup diam: Kebumen tak butuh pemimpin yang sekadar kaya harta, tapi kaya empati. Bukan sekadar pintar bicara, tapi berani berpihak.
Karena sejatinya, tanah leluhur ini bukan hanya tempat untuk dikenang, tapi juga tempat yang layak diperjuangkan.
Editor : Arbi Anugrah