get app
inews
Aa Read Next : Napi Lapas Permisan Nusakambangan Kabur

Kisah Jenderal Kopassus Penggotong Peti Ahmad Yani yang Gagal Long March 500 Km ke Nusakambangan

Jum'at, 09 September 2022 | 19:57 WIB
header img
Kisah Jenderal Komando Pasukan Khusus (Kopassus) yang sempat gagal menuju Nusakambangan, Cilacap saat menjalani pendidikan pasukan khusus. (Foto: Ist)

JAKARTA, iNewsCilacap.id – Kisah Jenderal Komando Pasukan Khusus (Kopassus) yang sempat gagal menuju Nusakambangan, Cilacap saat menjalani pendidikan pasukan khusus di bawah naungan TNI-Angkatan Darat. Kala itu Letjen (Purn) Soegito wajib berjalan 500 kilometer dari Batujajar, Jawa Barat menuju Cilacap, Jawa Tengah.

Memang, sebelum menyandang anggota Korps Baret Merah setiap prajurit Kopassus dilatih untuk menguasai berbagai keahlian seperti teknik tempur, membaca peta, pionir, patroli, survival, mendaki gunung, pendaratan kendaraan, hingga taktik perang gerilya. Mereka juga dilatih di berbagai medan perang mulai dari perkotaan, pegunungan, perhutanan, rawa-rawa, dan laut.

Tak salah jika prajurit Kopassus merupakan pasukan khusus di bawah naungan TNI-Angkatan Darat. Berdiri pada 16 April 1952 (dulu disebut RPKAD), Kopassus merupakan korps dengan kemampuan lengkap di berbagai bidang maupun medan lapangan.

Seperti kisah Jenderal Kopassus yang menceritakan beratnya Pendidikan komando di Nusakambangan untuk mendapatkan baret merah.


Letjen Soegito/Wikipedia
 
Dikutip dari buku "Letjen (Purn) Soegito, Bakti Seorang Prajurit Stoottroepen", beberapa waktu lalu, yang dikisahkan pendidikan komando dimulai di Batujajar pada Februari 1965. Kala itu, Soegito kembali bertemu dengan kelompok juniornya dari AMN (Akademi Militer Nasional) 63 yang baru pulang dari Operasi Tumpas di Sulawesi Selatan. Sebanyak 15 orang perwira remaja alumni 63 mengikuti pendidikan komando.

Memasuki tahap terakhir para calon prajurit Kopassus itu harus melakukan longmarch dari Batujajar, Bandung Barat ke Nusakambangan, Cilacap sejauh hampir 500 kilometer selama 10 hari. Saat itu Soegito merasakan sakit tak tertahankan di seluruh sendi-sendi kakinya disertai mendadak lemah sehingga tidak kuat dibawa berjalan. Bahkan, Soegito tidak mampu lagi melawan rasa sakitnya, hingga ia menyerah.

Pelatihnya Serma Sutari berusaha menguatkan, namun sia sia. Soegito pun akhirnya ditinggal kelompoknya hingga kemudian dievakuasi oleh pelatih. 

Singkat cerita, ia dikembalikan ke Cijantung. rekannya Soetedjo, tahunya saat sudah finish di Nusakambangan. Saat dilakukan penghitungan, jumlahnya sudah tidak lengkap, di antaranya sudah tidak ada Soegito.

Setelah gagal menjalani pendidikan dasar komando, Soegito ditunjuk menjadi staf Mayor Inf Gunawan Wibisono, teman satu letting Mayor Inf Benny Moerdani. Ketika itu Mayor Gunawan sedang melakukan penelitian terkait peralatan dan prosedur. Sebagai staf, Lettu Soegito melaksanakan sepenuhnya program yang tengah dijalankan komandannya.

Di antaranya membantu riset untuk melihat kenyamanan penggunaan senapan jika ditambahkan peredam (silencer). Setelah itu kembali dilakukan riset tentang airdrop resupply alias penerjunan untuk mengirimkan bekal ulang siang dan malam hari.

Riset sekitar dua minggu ini dilaksanakan di Lanud Halim Perdanakusuma dengan dropping zone (DZ) di sisi timur Halim yang berdekatan dengan lapangan golf. Selalu ada hikmah dari setiap kejadian. Gagal latihan komando, namun malah memberikan kesempatan kepada Soegito untuk menambah jam terjun.

Sebagai salah seorang perwira yang bertanggung jawab dalam riset penerjunan, mau tidak mau ia harus total selama proses penelitian supaya bisa memberikan laporan lengkap kepada atasannya.

Di akhir riset, Soegito menyerahkan laporan hasil kegiatan kepada Mayor Gunawan. Saat membantu Mayor Gunawan dengan riset-risetnya inilah, Soegito mendapat perintah untuk membantu pemakaman tujuh Pahlawan Revolusi di TMP Kalibata pada 5 Oktober 1965.

Peristiwa pemakaman ini dikenang sebagai peringatan HUT TNI paling menyedihkan karena bertepatan dengan pemakaman para pahlawan revolusi. Dalam upacara itu, kebetulan sekali Soegito mendapat bagian menggotong peti jenazah Jenderal Ahmad Yani. 

Baru saja selesai menjadi staf Mayor Gunawan, datang lagi perintah untuk membantu Mayor Inf Heru Sisnodo di Pusdik RPKAD di Batujajar. Perintah itu pun kembali dijalankan oleh Soegito.

"Dek Gito, nanti kalau mau latihan komando lagi, bila perlu apa-apa bilang saja kepada saya. Sekarang ikut saya jam terjun, sekalian nanti free fall," ujar Mayor Heru yang akrab disapa Soegito dengan panggilan Mas Heru.

Dengan membantu Mayor Heru, jam terjun Soegito semakin bertambah banyak. Anehnya Mayor Heru, kepada Soegito yang nyata-nyata mengikuti pelatihan komando malah diberi tugas merevisi kurikulum latihan komando. Tentu saja Soegito keberatan, yang sayangnya ditanggapi Mayor Heru dengan mengalihkan pembicaraan terkait rencana-rencana penerjunan. "Besok saya terjun, ikut ya,"ucapnya.

Dari kegiatannya membantu Mayor Gunawan dan Mayor Heru, Soegito mengalami peningkatan jumlah jam terjun yang sangat signifikan.

Bisa dibilang hingga saat itu, jam terjun Soegito paling tinggi dari semua perwira lulusan AMN 61. Karena jam terjun yang cukup banyak itu, di kemudian hari di atas wing terjunnya ditambahkan bintang dan bintang merah sekembalinya Dili tahun 1976.

Di sela-sela tugas sambil menunggu dibukanya kembali pendidikan komando, Soegito memeriksakan ke dokter mencari tahu penyebab sakit di kakinya yang menyebabkannya gagal mengikuti pendidikan komando. Hasil diagnosa dokter menyebutkan ia terkena malaria, yang salah satunya menyebabkan sakit di persendian kaki dan daya tahan tubuhnya menurun.

Soegito menduga ia tersengat nyamuk yang membawa parasit plasmodium itu saat berdinas di Rindam, Padang. Virusnya mendekam sekian tahun di dalam tubuhnya. Terutama di sendi-sendinya.

Kesempatan kedua untuk mengikuti pendidikan komando akhirnya tiba juga. Karena sudah pernah menjalaninya, Soegito malah menikmati setiap tahap yang dilaluinya. 

Bahkan pada tahap long march, petanya disimpan di ransel sewaktu memasuki wilayah Kabupaten Cilacap dan langkahnya diikuti oleh peserta yang lain, yang semuanya adalah juniornya.

Salah satu kenangannya saat pendidikan komando pada tahap pendaratan di Cilacap adalah disuruh jungkir oleh bintara pelatih dari sebuah ketinggian. Alasan pelatih sederhana sekali, hanya karena Soegito orang Cilacap. 

Alasan yang menurutnya jelas-jelas tidak ada korelasinya. Beberapa tahun kemudian, pelatih asal Aceh yang dikenal galak itu malah menjadi anggotanya saat diterjunkan di Dili, Desember 1975.

Komandan RPRAD Kolonel Inf Sarwo Edhie Wibowo lalu menarik seluruh peserta latihan ke Cijantung untuk mengikuti parade dan defile di Senayan. Soegito lupa, upacara apa yang dihadirinya saat itu.

"Saya salut dengan keuletan Pak Gito. Walaupun gagal latihan awalnya, namun mengulangi lagi sampai selesai. Itu sebuah keuletan yang kami hargai. Beliau tidak pantang menyerah. Mengulangi dari awal itu kan tidak main-main, diperlukan ketabahan yang tinggi," beber Soetedjo soal keteguhan hati rekannya itu.

Setelah menjalani pendidikan dasar komando, Soegito ditempatkan sebagai Komandan Kompi di Batalion 2 RPKAD di Magelang. Saat itu RPKAD baru memiliki dua batalion, dengan Batalion 1 di Cijantung. Setelah itu Soegito ditarik ke Cijantung dan diserahi jabatan Danki A Batalion 1 dengan komandan Mayor Soekoso.

 

Editor : Arbi Anugrah

Follow Berita iNews Cilacap di Google News Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut