JAKARTA, iNews.id – Stasiun Cilacap yang berada di Tambakreja, Cilacap Selatan, Cilacap, Jawa Tengah ini menyimpan banyak sejarah pada masa penjajahan. Masuk di wilayah Daerah Operasi (Daop) 5 Purwokerto, Stasiun Cilacap kini menjadi salah satu landmark Kota Cilacap.
Mengutip Instagram resmi PT Kereta Api Indonesia (KAI), beberapa waktu lalu, stasiun ini merupakan stasiun terakhir pada jalur Maos – Cilacap.
Stasiun Cilacap melayani jasa kereta jarak jarak jauh antara lain, KA Purwojaya relasi Gambir – Cilacap PP dan KA Wijayakusuma relasi Cilacap – Ketapang PP.
Stasiun Cilacap sendiri dibangun pada masa kolonial Belanda sebagai fasilitas pengangkutan hasil bumi menuju pelabuhan Cilacap.
Stasiun tersebut telah mendapatkan renovasi pada tahun 1943 oleh arsitek Thomas Nix dengan gaya Nieuwe Bouwen. Sebab bangunan pertama Stasiun Cilacap ini telah rusak dibom oleh pesawat udara Angkatan Laut Jepang.
Dari desain bangunan baru itu terlihat kolom-kolom tinggi yang tidak menempel pada dinding sehingga memberi kesan megah.
Bangunan Stasiun Cilacap memiliki arsitektur modern yang populer di awal abad 20. Jenis arsitektur tersebut lebih mengutamakan fungsi dan kekokohan daripada ornamentasi atau hiasan.
Di Stasiun Cilacap juga masih terdapat menara yang dulunya berfungsi untuk pengintaian. Dan saat ini menara tersebut seperti memperkuat identitas Stasiun Cilacap.
Pada ruang pengatur perjalanan kereta api, jendela dan pintunya terbuat dari besi menambah kesan unik stasiun ini. Pada masa kolonial hal tersebut guna menahan peluru dari musuh.
Bukan hanya itu, tak jauh dari stasiun terdapat depo lokomotif. Stasiun Cilacap juga dijadikan sebagai tempat parkir untuk kereta, gerbong avtur, serta lokomotif untuk aktivitas pulang pergi ke depo Pertamina.
Sekadar informasi, berdasarkan data yang disajikan laman KAI, Stasiun Cilacap pada awalnya dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai fasilitas pengangkutan hasil bumi dari kegiatan tanam paksa di daerah Wonosobo, Purworejo, dan sekitarnya ke Pelabuhan Cilacap untuk selanjutnya dibawa ke luar Pulau Jawa hingga ke Eropa.
Editor : Arbi Anugrah