JAKARTA, iNewsCilacap.id - Fakta film Avatar 2 The Way of Water belakangan ramai diperbincangkan banyak orang. Apalagi, Sekuel dari film Avatar The Way of Water ini terinspirasi dari kehidupan Suku Bajo yang ada di Sulawesi, Indonesia.
James Cameron, sutradara Avatar The Way of Water mengungkapkan sekuel Avatar ke-2 ini terinspirasi dari suku di Indonesia yang lahir dan hidup di laut serta cara hidup yang unik.
Dikutip dari kanal YouTube National Geographic, James Cameron mengungkapkan jika dirinya pernah bercita-cita menjadi seorang penyelam agar dapat menikmati seluruh keindahan bawah laut yang ada di dunia ini. Sekuel Avatar kedua ini merupakan kesempatan James untuk mewujudkan mimpi tersebut dengan mengolaborasikan kecintaannya pada laut.
"Ada orang laut di Indonesia, yang tinggal di rumah panggung dan tinggal di rakit dan sebagainya, kami melihat hal-hal seperti itu dan kami melihat beberapa desa yang berbeda pada jalur air yang ada menggunakan arsitektur dari pohon-pohon lokal," ujar James.
Suku Bajo adalah perenang andal dan penjelajah laut yang dikenal sebagai manusia "Gipsy Sea". Kehidupan manusia laut ini menjadi inspirasi bagi film Avatar.
Sekuel film Avatar ini sendiri telah tayang di seluruh layar lebar di Indonesia sejak 14 Desember 2022 lalu. Lebih dari satu dekade setelah film pertama, "Avatar: The Way of Water" mengisahkan tentang keluarga Sully (Jake, Neytiri, dan anak-anak mereka), serta masalah yang dihadapi keluarga Sully ketika harus melawan keserakahan orang-orang langit (manusia).
Untuk melindungi rakyat dan keluarganya, Jake pergi mengasingkan dirinya bersama istri dan anak-anaknya dari hutan dan beraliansi dengan klan Metkayina yang tak lain adalah bangsa atau klan yang hidup berdampingan dengan lautan.
Di mana huniannya dibuat pada sela-sela akar pohon seperti bakau raksasa. Di sekuel Avatar 2 ini penonton akan disuguhi petualangan Jake bersama keluarganya, dan klan Metkayina melawan orang-orang langit.
James pun menjelaskan bagaimana film ini menggambarkan suku Bajo ini dalam sekuel Avatar sebagai klan Metkayina.
"Semua budaya navi tidak ingin menebang pohon, melihatnya menjadi barang-barang bangunan material kayu. Mereka ingin berintegrasi dengan cara yang sangat alami dan anggun serta bersimbiosis ke dalam lingkungan mereka. Jadi kami harus membuat arsitektur mereka," kata James.
"Mereka memiliki budaya simbiosis dengan spesies yang cerdas, kita mungkin akan melirik dan berkata oh itu paus tapi tentu saja itu bukan paus itu versi pandora," katanya.
Keunikan Suku Bajo
Suku Bajo diketahui memiliki ketangguhan untuk mengarungi lautan sebagai bagian dari sejarah dan Jatidiri masyarakat suku Bajo. Meskipun saat ini sebagian masyarakat suku Bajo tinggal di darat, tetapi ketergantungan suku ini terhadap laut belum hilang.
Suku Bajo dikenal sebagai pelaut ulung karena kehebatannya menjelajahi lautan. Di mana banyak suku Bajo yang dapat menyelam hingga kedalaman hingga 70 meter di bawah permukaan laut hanya dengan satu tarikan napas.
Kehebatan suku Bajo ini menarik perhatian para ilmuwan dunia untuk melakukan penelitian. Salah satunya sekelompok peneliti dari University of Copenhagen dan University of California di Berkeley.
Hasil penelitiannya menyebutkan limpa orang-orang suku Bajo ini lebih besar 50% dibandingkan dengan rata-rata manusia. Produksi oksigen dalam darah orang Bajo akan lebih banyak, karena besarnya ukuran limpa tersebut.
Saat berkelana di laut, Suku Bajo hanya bermodalkan perahu kuno tanpa alat penunjuk arah. Meski di tengah lautan, mereka tidak bingung dan tetap dapat kembali dengan hanya mengandalkan posisi bintang.
Keahlian menjelajah laut orang-orang suku Bajo ini didapatkan secara turun-temurun. Bahkan, anak-anak suku Bajo sudah diajarkan sejak kecil bagaimana cara memancing dan menyelam oleh orang tua mereka.
Para nelayan atau penyelam suku Bajo juga menggunakan cara-cara tradisional untuk berburu, seperti panah tradisional atau tombak tembak.
Pada zaman dahulu, orang-orang dari suku Bajo terbiasa hidup di atas perahu dan hidup secara nomaden. Namun kini, ada juga masyarakat Bajo yang hidup dengan membangun rumah di atas laut dangkal sebagai tempat tinggal.
Editor : Arbi Anugrah